Monyet dan Apel Kayunya

Dia menciumi apel itu tapi tidak mencium bau apapun. Dia mencoba
memakannya tapi malah membuat giginya ngilu. Apel itu ternyata terbuat
dari kayu, tapi nampak demikian indah, dan ketika monyet-monyet lain
ingin melihatnya, dia malah memegangnya dengan semakin erat.
Dia begitu mengagumi apa yang baru dimilikinya dan dengan bangga
membawa-bawanya sambil berkelana dalam hutan. Apel itu nampak berkilau
kemerahan di bawah sinar matahari, dan nampak sempurna baginya. Dia
menjadi begitu tergantung padanya, sampaisampai pada awalnya bahkan dia
tidak sadar kalau dia sedang lapar.
Sebatang pohon buah mengingatkannya, tetapi dia merasakan sentuhan halus
apel di tangannya, dia tidak mau melepaskan pegangan pada apel kayu itu
agar dia dapat meraih buah untuk di makannya. Pendeknya, dia tidak bisa
rileks, karena harus terus melindungi apel kayunya itu. Seekor monyet
yang penuh kebanggaan tapi tidak bahagia itu terus berkelana di dalam
hutan.
Apel-apel kayu itu terasa semakin berat, dan monyet kecil yang malang
itu mulai berpikir untuk meninggalkannya. Dia merasa lelah, lapar, dan
tidak bisa memanjat pohon atau memetik buah dengan tangannya yang tidak
bebas. Bagaimana kalau dia melepaskannya saja?
Melepaskan diri dari hal yang demikian berharga nampaknya tidak mungkin,
tapi apa lagi yang dapat dilakukannya? Dia sudah demikian letih dan
lapar. Melihat pohon buah-buahan berikutnya, dan mencium nikmatnya bau
buah itu, ah cukup…. Dia menjatuhkan apel kayunya dan meraih makanannya.
Dan dia menjadi bahagia lagi.
.
Melepaskan apel kayu
Melepaskan apel kayu

Ini adalah hal berat untuk disaksikan, kita dengan demikian kuat
mengidentifikasi diri dengan milik kita, bahkan merasa demikian sedih
ketika mobil kita penyok. Betapa lebih kuatnya kita mengidentifikasi
diri kita dengan keyakinan dan gagasan pribadi kita? Walau mereka tidak
selalu mengisi jiwa kita, bukankah demikian? Dan kita jadi letih karena
terus mempertahankannya.
Cara bagaimana lagi kita bisa mengakhiri kisah ini? Mungkin monyet itu
ditemukan telah mati kelaparan, di bawah sebatang pohon yang indah,
dengan buah ranum dalam jangkauan, sambil tetap memegang erat apel
kayunya.
Tetapi saya memilih mengakhiri kisah ini dengan kepasrahan monyet itu,
yang mau melepaskan apel kayu dari genggamannya, karena hanya dengan
tangan terbuka kita bisa menerima
Tidak ada komentar:
Posting Komentar